Anggota DPR Kehilangan Kearifan Politik akhirnya, lembaga-lembaga di bawah DPR dan pimpinan mereka terbentuk, dengan Koalisi Merah Putih "menguasai" kepemimpinan DPR serta posisi-posisi pimpinan komite di bawahnya. Pemilihan pimpinan komite oleh rapat pleno DPR menciptakan kekacauan. Koalisi Merah Putih mengontrol posisi pimpinan komite, sementara partai-partai dari Koalisi Indonesia Hebat mengajukan mosi ketidakpercayaan terhadap kepemimpinan DPR. Mereka mengorganisir oposisi terhadap DPR.Dinamisasi politik DPR menunjukkan bahwa anggota DPR telah kehilangan kearifan politik. Demi memenuhi ambisi untuk merebut posisi pimpinan komite, mereka sama sekali tidak mempertimbangkan wakil dari kekuatan politik lainnya, yang merupakan tanda ketidakmatangan politik anggota DPR. Beberapa partai membentuk "oposisi DPR" dan mengajukan mosi ketidakpercayaan terhadap kepemimpinan DPR, serta meminta Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, yang juga merupakan langkah yang tidak masuk akal. Tidak perlu menarik Presiden ke dalam perselisihan internal DPR!Dari pimpinan komite yang terpilih, tidak ada wakil dari partai Koalisi Indonesia Hebat yang memiliki 246 kursi di DPR. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), yang merupakan pemenang Pemilu Legislatif 9 April dengan 109 kursi, sama sekali tidak terwakili dalam kepemimpinan DPR atau pimpinan komite. Begitu pula, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga tidak terwakili.Partai pemenang pemilu seharusnya mendapatkan posisi di pimpinan DPR dan komite sesuai dengan logika demokrasi. Dulu, partai pemenang pemilu selalu menjadi pimpinan DPR. Misalnya, pada Pemilu 2009, Partai Demokrat yang menang, dengan Marzuki Alie sebagai Ketua DPR. Namun, kenyataan politik di Indonesia tidak demikian. PDI-P yang tidak berhasil menjadi pimpinan DPR atau terpinggirkan dari posisi tersebut, merupakan hasil dari politik curang yang dimainkan oleh DPR pada akhir masa jabatan periode sebelumnya.Setelah hasil pemilu legislatif diumumkan, pada 8 Juli 2014, sehari sebelum Pemilu Presiden, DPR yang masih menjabat saat itu mengubah undang-undang mengenai pemilihan pimpinan DPR, MPR, DPD, dan DPRD. Berdasarkan Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang Tata Tertib DPR, "DPR memilih pimpinan berdasarkan urutan jumlah suara yang diperoleh dalam pemilu," yang berarti PDI-P seharusnya menjadi pimpinan DPR. Namun, Undang-Undang yang disahkan pada 9 April 2014 mengubahnya menjadi "pimpinan DPR dipilih oleh anggota DPR melalui pemilihan paket."Perancang Undang-Undang 2014 tampaknya tidak mengikuti norma-norma hukum yang jelas. Undang-Undang ini murni merupakan taktik politik yang mengatasnamakan demokrasi untuk memperebutkan kekuasaan. Fenomena ini menunjukkan bahwa anggota DPR, yang seharusnya menjadi negarawan, malah lebih mirip politisi oportunis. Hal ini mengingatkan kita pada pernyataan James Clark, seorang akademisi asal Amerika Serikat, yang mengatakan: "Seorang politisi berpikir tentang pemilu, sementara seorang negarawan berpikir tentang generasi berikutnya."Sejarah akan mencatat kekacauan ini di DPR, dan generasi mendatang akan mengingat peristiwa politik yang memalukan ini.