Jejak Komunitas Tionghoa dan perkembangan Kota Bandung

Hubungan Tiongkok dan Nusantara banyak tercatat pada naskah kuno Tiongkok. Warga
Tionghoa beremigrasi ke Indonesia terutama karena alasan ekonomi di samping situasi domestik
Tiongkok yang kacau. Mereka menumpang perahu niaga junk yang rutin berlayar antara pesisir
Tiongkok Selatan dan Batavia. Ketika VOC membangun Batavia untuk pijakan awal di Pulau Jawa,
para pendatang Tionghoa diperlukan kemampuannya membangun dan menghidupkan Batavia untuk
menggerakkan roda perekonomian. Ketika imigran swakarsa Tionghoa membanjir tanpa terkendali,
VOC menjadi gamang dan permukimannnya dipisahkan dikelompokkan berdasarkan etnis. Kelompok
Tionghoa diatur oleh wijkenstelsel sehingga terbentuk ghetto chineesenwijk serta diawasi
pergerakkannya dengan passenstelsel. Tujuannya untuk memudahkan pengawasan sambil tetap
memanfaatkan kemampuan perdagangan perantara dan jaringan distribusi ke pedalaman. Etnis
Tionghoa menjadi terisolasi dari masyarakat setempat dan dijadikan alat pemerintahan kolonial, tanpa
harus menanggung biaya organik pemerintahan kolonial. Pada kawasan urban terjadilah pecinan yang
intens bercorak budaya dan arsitektur khusus, berbeda dari kawasan lainnya. Pada kasus kota
Bandung; awal daerah pecinan (yang tidak tegas batasannya) terbentuk di pusat kota di sekeliling
stasiun kereta api, Pasar Baru, jalan raya utama (Groote Postweg dan Pasar Baroeweg). Mereka
menyebar mengikuti perkembangan kota. Secara historis pecinan Bandung hanya mengalami
pengaturan kolonial pada akhir abad 19 dan awal abad 20 setelah kawasan Priangan dinyatakan
terbuka bagi imigran.

Sugiri Kustedja Unknown Unknown Indonesian Chinese Indonesians Journal Unknown Jejak Komunitas Tionghoa dan perkembangan Kota Bandung; Sugiri Kustedja (406222) Unknown

Files