Dalam buku ini memang tidak saja ayat-ayat itu berbicara tentang kesalahkaprahan yang sering terjadi dalam tuturan bahasa (karena faktor ini yang menjadi titik lemah kita sebagai manusia Indonesia yang miskin budaya verbal). Namun juga memberikan pemahaman kepada aliran-aliran seni susastra,seni musik, seni drama, seni rupa, seni film yang terinspirasi dari pergulatan sosial maupun politik. Sepintas buku ini diawal-awal ayat setiap perikop mirip dengan kamus yang diuraikan secara gamblang dan kontekstual, terutama pada perikop seni film. Saya sendiri cenderung membaca buku ini sebagai kitab suci. Buku yang fungsinya adalah meletakkan kembali segala agar karut marut di dunia seni pada tempatnya yang benar. Demikian ulasan dari Obed Bima Wicaksana, dosen estetika DKV UK Petra tentang buku 123 ayat tentang seni karangan Yapi Tambayong.