Bagi pemirsa yang belum mengetahui bagaimana pembagian wilayah administratif kota surabaya pada masa kolonial. Surabaya terbagi menjadi 2 yaitu karesidenan (semacam kabupaten) dan kota surabaya itu sendiri. Bila berbicara karesidenan maka sidoarjo, jombang, mojokerto, gresik, lamongan termasuk karesidenan Surabaya.
Kota Surabaya sendiri dahulu bagian timur dari kalimas bukan termasuk kota surabaya, namun distrik djaba kota (luar kota). Sampai didaerah kotamadya saat ini, kalimas tidak menjadi batas bentang alam lagi. Daerah sebelah timur balai kota, ketabang, ngemplak, tembaan, kapasari, sidotopo dan bulek rukem sudah termasuk distrik djaba kota.
Rel kereta api jarak jauh (rel kereta saat ini, perusahaan SS saat itu) diletakkan di daerah djaba kota setelah sampai di stasiun kota. Ini sebagai jawaban masa depan saat itu agar rel kereta jarak jauh tidak mengganggu lalu lintas dalam kota. Namun ketika akhirnya perkembangan ke daerah timur tidak terelakkan maka dibangunlah juga viaduk2 sebagai antisipasi kemacetan. Itulah mengapa daerah stasiun wonokromo saat ini dan seterusnya tidak terdapat viaduk, karena dahulu memang tidak direncanakan pengembangan kearah sana selain perindustrian ngagel.
Daerah darmo merupakan daerah atas sedangkan kota lama (daerah jembatan merah) adalah kota bawah. Maksudnya bukan karena letak darmo lebih tinggi dari daerah jembatan merah, tapi merupakan pola pikir kolonial saat itu dalam memandang wilayah. Wilayah suatu daerah dipandang dari sisi pantai. Sehingga daerah yg didekat pantai selalu dianggap kota bawah dan daerah menuju pedalaman (lebih masuk kedarat) dianggap kota atas. Di surabaya, pembatasnya secara khayali adalah daerah tunjungan dimana terdapat gap daerah yg sejak awal didiami pribumi (bukan daerah rancangan kolonial).