Dalam perkembangan dunia seni rupa kontemporer Indonesia dewasa ini, khususnya karya-karya yang bersinggungan
dengan perkembangan teknologi, New Media Art (seni media baru) adalah salah satu contohnya. Dalam konteks seni,
penggunaannya sering dipahami sebagai tawaran kemungkinan baru dalam menciptakan atau mengalami kesenian. Salah
satunya adalah adanya metamorfosis performance art menjadi multimedia performance dan yang terakhir bermetamorfosis
menjadi video performance. Video performance, lahir dari sejarah panjang perkembangan performance art sekitar tahun
1909 lewat manifesto kelompok Futurist di Paris yang beranggotakan penyair, pelukis, dan pemain teater, dengan
menggunakan tubuh sebagai medium, performance art melakukan dematerialisasi dalam seni. Video performance dalam
presentasinya, tubuh sudah tidak lagi menjadi bagian, tetapi yang hadir kemudian adalah tubuh yang virtual (maya).
Kehadiran tubuh tidak benar-benar nyata, tetapi kehadirannya dapat terasa dari tampilan visual yang keluar dari projector. Di
sini, performance art telah termediasi dan bermetamorfosa. Selain persoalan fusi seni dan teknologi yang mendorong
metamorfosis performance art menjadi video performance seperti di atas, tulisan ini juga membahas aspek-aspek sosial
seiring kemunculan dan perkembangan performance art di Indonesia. Pertama performance art sebagai seni penyadaran dan
perlawanan dengan mendekonstruksi realitas sosial dan kemapanan seni rupa itu sendiri. Kedua adanya fenomena ambient
media dalam praktik periklanan global (termasuk Indonesia) yang membelokkan arah perjuangan "genue" performance art
dari media penyadaran menjadi seni "kitsch" sebagai ujung tombak periklanan untuk kepentingan pasar.