Graffiti sering kali dipandang sebagai bentuk pencarian identitas anak muda atau untuk sekedar menunjukkan eksistensi
mereka. Aksi mereka pun sering berhadapan dengan aparat kota (Satpol Pamong Praja) bahkan tidak jarang juga berhadapan
dengan aparat kepolisian karena dipandang sebagai aksi yang merusak. Keberadaan bomber yang telah menjadi subkultur
anak muda dipandang sebagai pemberontakan atas struktur urban semakin diterima. Meskipun di sisi lain pandangan yang
sinis terhadap mereka tetap saja ada. Di era 1980-an, graffiti yang bertebaran di tembok-tembok kota sering menuliskan
kelompok geng atau nama almamater sekolah. Hal-hal tersebut sering menjadi pemicu kekerasan antar kelompok, namun
seiring perkembangan zaman, rupanya graffiti tidak sekedar menuliskan nama kelompok namun juga dikemas dengan cara
yang lebih artistik dan tidak sekedar tagging belaka. Hingga kemudian seiring perkembangan gaya hidup yang ditopang oleh
media massa maupun majalah dan buku-buku luar negeri yang membahas graffiti maupun dari internet, menjadikan graffiti
tidak lagi dapat dipandang sebagai bentuk politik keberbedaan, namun hanya sekedar menjadi tuntutan tren saja. Graffiti
hadir sebagai eksistensi mereka terhadap tanda zaman yang diwakili oleh tren gaya hidup dan hal ini lebih kuat tercermin
daripada menunjukkan identitas mereka yang sarat ideologi keberbedaan.