Lambatnya alih kewenangan pengelolaan lahan kota, dan batas tanggungjawab pengelolaan saluran air yang tidak jelas dan tegas ditengarai menjadi penghambat penanganan banjir Surabaya. Selama kedua faktor itu belum jelas penanggungjawabnya, banjir Surabaya tidak akan bisa diatasi. "Selama ini yang terjadi antarinstansi sendiri saling lempar tanggungjawab. Ini akibat ketidakjelasan pengelolaan tadi,” ungkap pakar tatakota Ir Benny Poerbandanoe dalam diskusi Metropolis-SCFM Live Opinion di Hotel Majapahit, kemarin.
Menurut dosen arsitektur UK Petra ini, akibat ketidakjelasan kewenangan itu, upaya penanganan banjir Surabaya tidak pernah tuntas dan hanya tambal sulam. "Saluran cacing itu kewenangan siapa, saluran sekunder itu siapa, atau saluran primer itu milik siapa, semua tidak jelas. Masing-masing tidak merasa bertanggungjawab.” Inilah yang membuat penanganan banjir jadi lambat. Kalau kewenangan ini jelas dan tegas, semua akan berjalan dengan sendirinya. Warga kampung tidak segan untuk membersihkan saluran cacingnya. Begitu pula pemkot juga tidak canggung untuk mengeruk saluran-saluran yang mengalir di tengah kota. "Dengan cara itu, warga pun akan merasa handerbeni (memiliki) terhadap lingkungannya. Kalau salurannya mampet, warga pasti tidak segan turun tangan langsung membersihkan, paparnya.