Dalam masyarakat Tionghoa Indonesia (khususnya di pulau Jawa) sejak awal abad 20 telah
ada usaha untuk merumuskan secara pasti apa yang dapat disebut ―agama (masyarakat)
Tionghoa‖. Mengacu pada masyarakat Tionghoa pendatang yang kemudian melebur dalam
kehidupan masyarakat setempat; mereka berusaha tetap memelihara tradisi kepercayaan
tradisional yang dibawa dari tempat asalnya, dalam perjalanan sejarah lalu bertambah dengan
budaya dan kepercayaan masyarakat setempat. Bila diteliti kepercayaan tradisional Tionghoa
mengandung unsur dari 3 kelompok: Taoisme, ajaran Confusius, dan Buddhis Mahayana.
Penambahan budaya lokal terdiri dari agama Islam, Hindu, animisme, kebatinan, dan masih
banyak unsur populer lain. Kondisi demikian mempersulit atau malah tidak mungkin
membangun batasan yang pasti bagi claimed ―agama Tionghoa‖. Setelah kemerdekaan
Republik Indonesia, dengan dasar negara Pancasila asas pertama dan utama adalah
Ketuhanan yang maha Esa. Asas ini menjamin kebebasan beragama. Setelah tahun 1965 dari
segi politik praktis diharuskan mengisi kolom agama dalam setiap KTP (Kartu Tanda
Penduduk). Terdapat enam (pernah lima) agama resmi yang diakui Departemen
Agama. ‖Agama Konghucu‖ pernah diakui - pernah dihapus - lalu diakui kembali.
Paper ini mencoba merunut terbentuknya ―agama Konghucu‖ (di luar batasan negara
Indonesia, ajaran Confucius lebih disikapi sebagai falsafah hidup masyarakat Tionghoa ideal
dan klasik). Tinjauan berawal sejak imbas situasi sosio-politik Tiongkok pada peralihan abad
19 ke 20, periode Hindia Belanda, dan periode Republik Indonesia. Sangat erat keterkaitan
dengan situasi dan kondisi lokal, masyarakat dan politik pemerintah Indonesia. Masyarakat
peranakan Tionghoa Indonesia menempuh alur perkembangan budaya terpisah dari induk
asalnya Tiongkok, juga berbeda dengan masyarakat Tionghoa di negara-negara tetangga Asia
Tenggara. Di Indonesia kelompok Confusius, kelompok Buddha Mahayana dan Theravada,
dan kelompok Taoist masing-masing dengan pelembagaan berusaha memisahkan diri dari
rumpun asal kepercayaan popular tradisional Tionghoa. Terdapat juga kelompok Tridharma
yang berusaha tetap menyatukan ketiga unsur besar ini. Kesemuanya berihtiar memperoleh
legalitas pengakuan dari pemerintah. Mereka tetap berusaha mempertahankan identitas
kesukuan Tionghoa Indonesia, memilih cara lentur dalam situasi kontekstual ambiguitas
politik integrasi dan asimilasi pemerintah Indonesia.