Suku kecil (Hubi iki) menggunakan ragam hias geometris pada sarung wanita, dalam bahasa Sabu disebut Ledo. Orang Sabu mengenal tiga warna dasar tenunan yaitu putih, coklat dan biru-hitam, sesuai jenis tumbuhan untuk mewarnakan benang sama dengan daerah lainnya. Perbedaan terletak pada cerah atau suramnya warna yang umumnya disukai oleh suku yang bersangkutan. Ragam hias bunga melata merupakan inspirasi dari pengaruh Belanda melalui gambar-gambar dalam buku-buku sulaman, kemudian disesuaikan dengan baik ke dalam gaya tenunan asli Sabu. Cara penggunaan sarung wanita Sabu yang asli, dengan bantuan tali ikatannya di pinggang, sesudah itu dilipat ke depan agar motif ikatnya tampak, dan dikencangkan ikatan di dada. Untuk malam hari ditambah selendang menutup belakang dan kedua ujungnya menggantung ke depan. Bagi orang tua, istri guru, istri pendeta dan istri raja menggunakan kebaya. Pada bulan purnama penuh masyarkat Pulau Sabu berkumpul di pantai untuk menari Pado'a. Pria menggunakan selimut tenun yang dililitkan di pinggang dan mengenakan selendang. Para ibu mengenakan sarung dan selendang menutupi belakang dan dada. seorang wanita yang belum nikah lebih sering mengenakan sarung tenun yang menutup sampai dada. Para pemuda mengenakan tenun yang indah misalnya dengan motif Huri Ae-Hubi ae yaitu kembang besar atau Huni iki-huri iki kembang kecil.