Keterlibatan praktisi media dalam politik adalah topik yang kontroversial, khususnya sejak Indonesia menginjak era demokratisasi. Banyak yang berang-gapan bahwa pemilik media dan jurnalis seharusnya dilarang untuk memasuki politik, apalagi untuk memegang jabatan di pemerintahan. Masuknya mereka ke dalam politik memperkuat pendapat bahwa politik hanya menguntungkan kaum yang berkuasa. Pada penghujung tahun 2004, ketika Indonesia mengadakan pemilu langsung yang pertama sepanjang sejarah pasca-kolonialnya, timbul sebuah fenomena di mana jurnalis dan pemilik media merambah ke dalam kancah perpolitikan. Hal ini membentuk simbiosis mutualisme yang bermanfaat bagi tokoh-tokoh media dan politik namun acap kali merugikan rakyat. Artikel ini diawali sebuah tinjauan teoritis mengenai demokrasi dan publik ketika berhadapan dengan media dan kekuasaan. Di sini model hubungan media dan politik dalam konteks Barat yang kerap digunakan sebagai standar (teoritis) jurnalisme di seluruh dunia dikontraskan dengan model hubungan jurnalisme dengan politik di Asia dan negara-negara dunia ketiga. Tidak adanya batas pemisah yang tegas antara jurnalisme dan politik yang umumnya didapati di negara-negara Asia didapati pula di Indonesia. Kemudian kasus-kasus praktisi media (jurnalisme) yang memasuki dunia politik di Indonesia pasca Orde Baru dipaparkan. Esei ini berargumen bahwa masuknya praktisi media ke dalam kancah perpolitikan di tengah era demokrasi dan kebebasan media menyebabkan sebuah langkah mundur dalam proses demokrasi dan mengancam kebebasan pers. Apabila praktisi media berkecimpung dalam kekuasaan politik dan media pada waktu yang bersamaan maka independensinya akan terancam. Dengan demikian terancam pulalah pelayanan masyarakat yang seharusnya menjadi fokus seorang pejabat publik.