Kegagalan politik dan pengkhianatan intelektual

Masalah kita hari ini adalah bagaimana mempertanggung jawabkan transisi politik yang belum sukses.sejak tahun1998. Betul bahwa transisi adalah kerja panjang, bukan
sebuah revolusi singkat yang radikal, melainkan kerjaprosesual yang membutuhkan tahapan, langkah panjang, dan melewati situasi yang kompleks. Tetapi sepuluh tahun
(1998-2008) adalah waktu yang panjang jika ada suatu arus yang jelas tentang arah dan tujuan bangsa ini. Dan itu harusnya selesai di tingkat elite. Namun, keterlibatan intelektual dalam mendorong perubahan sosial dan politik adalah tanggung jawab normatif. Suatu paradoks memalukan tampak sesudah reformasi 1998, di mana para intelektual yang bertumbuh dan besar di masa Orde Baru dengan tanpa rasa malu mengaku diri reformis, pejuang bangsa, penggagas reformasi, nabi demokrasi; dan sebagainya. Ada sesuatu yang terlupakan dan tak dapat dipertanggung jawabkan,yaitu memoria, ingatan. Eddy Knstiantot(2008) melalui Sakramen Politik menyadarkan kita bahwa mempertanggung jawabkan memoria adalah tuntutan esensial setiap individu dalam sebuah negara. Terkait kegagalan transisi politik, yang di dalamnya praktek pengkianatan intelektual turut subur, ada tiga akar dari seluruh masalah. Ketiganya dengan jelas dipertontonkan oleh pemerintahan SBY-JK dan menjadi dasar dan seluruh “dosa” politik pemerintah, yakni kekuasaan (dijadikan tujuan pada dirinya), kekayaan (sebagai tujuan sekunder kekuasaan), dan ketenaran (sebagai pnoritas). Pemerintahan ini telah gagal membangun demokrasi yang substansial dan lebih mementingkan citra melalui iklan politik. Menghukum pemerintah gagal adalah hak rakyat. Dan pemilu adalah kesempatan untuk membuktikan hukuman itu.

Unknown Unknown PT Media Interaksi Utama Indonesian Petra Chronicle Newspaper clippings Unknown Suara Pembaharuan, 27 Januari 2009 POLITICAL SCIENCE; INDONESIA--INTELLECTUAL LIFE

Files