Kota-kota besar di Indonesia yang rata-rata terletak di tepi air ("waterfront cities") menampung sekitar 43%
penduduk Indonesia. Laju urbanisasi yang cepat menyebabkan terjadinya kesenjangan antara kebutuhan
perumahan yang besar terhadap keterbatasan supplai lahan dan penyediaan infrastruktur, terutama tata air.
Kesenjangan dan praktek spekulasi lahan yang berlebihan akhirnya menyebabkan "urban sprawling" dan
berbagai masalah keberlanjutan di kota-kota tsb seperti banjir.
Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia sekaligus kawasan strategis nasional yang juga merupakan
"waterfront city". Tetapi di sisi lain masalah banjir Surabaya makin parah karena kondisi topografi, sifat tanah,
tingginya curah hujan, meningkatnya pasang naik dan perubahan tata guna lahan yang ekstrim. Karena itulah
masalah banjir patut diperhatikan dengan serius karena sangat mempengaruhi keberlanjutan Kota Surabaya.
Pemerintah Kota Surabaya sebenarnya telah melakukan upaya-upaya untuk mengurangi banjir ini di antaranya
dengan Surabaya Drainage Master Plan (SDMP). Tetapi hasilnya diduga belum optimal karena keterbatasan
dalam pendekatan maupun implementasinya.
Kami memandang bahwa strategi Integrasi Tata Ruang dan Tata Air yang komprehensif tetap dibutuhkan untuk
mengurangi dampak dari banjir ini. Strategi ini dapat dilakukan dengan menerapkan Perencanaan Tata Ruang
Komprehensif yang Berbasis Ekologis; menerapkan Integrated Water Resource Management (IWRM) dan Low
Impact Development (LID); serta menerapkan sistem Polder di Kawasan Utara dan Timur Surabaya. Sehingga
diharapkan maka visi berkurangnya banjir Surabaya dan Surabaya sebagai kota yang berkelanjutan dapat
tercapai.